Selasa, 10 Februari 2015

FAAL - Sistem Gerak Refleks



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Gerak pada umumnya terjadi secara sadar, namun, ada pula gerak yang terjadi tanpa disadari yaitu gerak refleks. Impuls pada gerakan sadar melalui jalan panjang, yaitu dari reseptor, ke saraf sensori, dibawa ke otak untuk selanjutnya diolah oleh otak, kemudian hasil olahan oleh otak, berupa tanggapan, dibawa oleh saraf motor sebagai perintah yang harus dilaksanakan oleh efektor.
Gerak refleks adalah gerak yang dihasilkan oleh jalur saraf yang paling sederhana. Jalur saraf ini dibentuk oleh sekuen neuron sensor, interneuron, dan neuron motor, yang mengalirkan impuls saraf untuk tipe reflek tertentu. Gerak refleks yang paling sederhana hanya memerlukan dua tipe sel sraf yaitu neuron sensor dan neuron motor.
Gerak refleks disebabkan oleh rangsangan tertentu yang biasanya mengejutkan dan menyakitkan. Misalnya bila kaki menginjak paku, secara otomatis kita akan menarik kaki dan akan berteriak. Refleks juga terjadi ketika kita membaui makanan enak, dengan keluarnya air liur tanpa disadari.
Gerak refleks terjadi apabila rangsangan yang diterima oleh saraf sensori langsung disampaikan oleh neuron perantara (neuron penghubung). Hal ini berbeda sekali dengan mekanisme gerak biasa.
Gerak biasa rangsangan akan diterima oleh saraf sensorik dan kemudian disampaikan langsung ke otak. Dari otak kemudian dikeluarkan perintah ke saraf motori sehingga terjadilah gerakan. Artinya pada gerak biasa gerakan itu diketahui atu dikontrol oleh otak. Sehingga oleh sebab itu gerak biasa adalah gerak yang disadari.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Bagaiman mekanisme gerak refleks?
2.      Apa saja macam gerak refleks?

1.3  Tujuan
1.      Untuk mengetahui mekanisme gerak refleks.
2.      Untuk mengetahui macam gerak refleks.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Mekanisme Gerak Refleks
2.1.1  Pengertian Gerak Refleks
            Refleks adalah respons otomatis terhadap stimulus tertentu yang menjalar pada rute yang disebut lengkung refleks. Sebagian besar proses tubuh involunter (misalnya, denyut jantung, pernapasan, aktivitas pencernaan, dan pengaturan suhu) dan respons somatis (misalnya, sentakan akibat suatu stimulus nyeri atau sentakan pada lutut) merupakan kerja refleks.[2]
           
2.1.2  Lengkung Refleks
               Unit dasar aktivitas refleks terpadu adalah lengkung refleks. Lengkung refleks ini terdiri atas alat indra, neuron aferen, satu sinaps atau lebih yang umumnya terdapat di pusat integrasi sentral, neuron eferen, dan efektor. Pada mamalia, hubungan (sninaps) antara neuron somatik aferen dan eferen biasanya terdapat di otak atau medulla spinalis. Serat neuron aferen masuk susunan saraf pusat melalui radiks dorsalis medulla spinalis atau melalui nervus kranialis, sedangkan badan selnya akan terdapat di ganglion dorsalis atau di ganglion-ganglion homolog nervi kranialis. Serat neuron eferen keluar melalui radiks ventralis atau melalui nervus cranial yang sesuai. Kenyataan radiks dorsalis medulla spinalis bersifat sensorik dan radiks ventralis bersifat motorik dikenal sebagai hukum Bell-Magendie. [1]
               Semua lengkung (jalur refleks) terdiri dari komponen yang sama.
1.      Reseptor adalah ujung distal dendrit, yang menerima stimulus.
2.      Jalur aferen melintas sepanjang sebuah neuron sensorik sampai ke otak atau medulla spinalis.
3.      Bagian pusat adalah sisi sinaps, yang berlangsung dalam substansi abu-abu SSP. Impuls dapat ditransmisi, diulang rutenya atau dihambat pada bagian ini.
4.      Jalur eferen melintas disepanjang akson neuron motorik sampai ke efektor, yang akan merespons impuls eferen sehingga menghasilkan aksi yang khas.
5.      Efektor dapat berupa otot rangka, otot jantung, atau otot polos, atau kelenjar yang merespon. [2]

Gb.1 Lengkung Refleks

2.1.3  Sifat Umum Refleks
1. Rangsangan Adekuat
                    Rangsangan yang memicu terjadinya refleks umumnya sangat tepat (presisi). Rangsangan ini dinamakan rangsangan adekuat untuk refleks tersebut. Suatu contoh yang jelas adalah refleks menggaruk pada anjing. Refleks spinal ini timsbul akibat rangsangan yang adekuat melalui rangsangan raba linier multiple, yang misalnya karena terdapat serangga yang merayap di kulit. Respons yang timbul adalah garukan hebat pada daerah yang terangsang (sementara itu, ketepatan gerakan kaki yang menggaruk ke tempat yang teriritasi itu merupakan contoh sinyal local yang baik). Bila rangsangan raba multiple itu terpisah jauh atau tidak dalam satu garis, rangsangan yang adekuat tidak akan timbul dan tidak terjadi garukan. Lalat merayap, tetapi juga dapat melompat dari satu tempat ke tempat lain. Lompatan ini memisahkan rangsangan raba tersebut sehingga tidak terbentuk rangsangan adekuat untuk refleks menggaruk. [1]
2. Jalur Bersama Akhir
                    Neuron motorik yang mempersarafi serabut ekstrafusal otot rangka merupakan bagian eferen dari berbagai lengkung refleks. Seluruh pengaruh persarafan yang memengaruhi kontraksi otot pada akhirnya akan tersalur melalui lengkung refleks ke otot tersebut, dank arena itu dinamakan jalur bersama akhir (final common path). Sejumlah besar masukan impuls bertemu di tempat tersebut. Memang, permukaan neuron motorik dan dendritnya rata-rata menampung sekitar 10.000 simpul sinaps. Sedikitnya terdapat lima masukan dari segmen spinal yang sama untuk neuron motorik spinal tertentu. Di samping yang umumnya dipancarkan melalui interneuron, dari berbagai bagian medulla spinalis lain dan traktus descendens yang panjang dan multipel dari otak. Seluruh jaras ini berkumpul dan menentukan aktivitas jalur bersama akhir. [1]
3. Berbagai Keadaan Eksitasi dan Inhibisi Sentral
                 Istilah keadaan eksitasi sentral dan keadaan inhibisi sentral digunakan untuk menggambarkan keadaan berkepanjangan yang memperlihatkan pengaruh eksitasi mengalahkan pengaruh inhibisi atau sebaliknya. Bila keadaan eksitasi sentral kuat, impuls eksitasi tidak saja menyebar ke berbagai daerah somatic medulla spinalis melainkan juga ke daerah otonom. Pada orang yang mengalami paraplegia kronis, misalnya, rangsangan noksius yang lemah dapat menimbulkan refleks kencing, defekasi, berkeringat, dan tekanan darah yang fluktuatif. [1]
4.    Habituasi dan Sensitisasi Respon Refleks
                 Kenyataan bahwa respon refleks bersifat stereotipik tidak menghilangkan kemungkinan bahwa respons tersebut dapat berubah melalui pengalaman. [1]

2.1.4  Proses Terjadinya Gerak Refleks
         Aktivitas di lengkung reflex dimulai di reseptor sensorik, berupa potensial reseptor yang besarnya sebanding dengan kuat rangsang. Potensial reseptor membangkitkan potensial aksi  yang bersifat gagal atau tuntas disaraf aferen. Jumlah potensial aksi sebanding dengan besarnya potensial generator. Di sistem saraf pusat terjadi respons bertahap berupa potensial pascasinaps eksitatorik dan potensial pasca sianaps inhibitorik yang kemudian bangkit di saraf tertaut-taut sinaps.  Respon yang kemudian bangkit di saraf eferen adalah respon yang bersifat gagal atau tuntas. Bila potensial aksi ini mencapai efektor, akan terbangkit lagi respons bertahap. Di efektor yang berupa otot polos, responnya akan bergabung untuk kemudian mencetuskan potensial aksi di otot polos. Tetapi bila efektornya berupa otot rangka, respons bertahap tersebut selalu cukup besar untuk mencetuskan potensial aksi yang mampu menimbulkan kontraksi otot.
               Perlu ditekankan bahwa hubungan antara neuron aferen dan eferen biasanya terdapat di susunan saraf pusat, dan aktivitas di lengkung reflex merupakan aktivitas yang termodifikasi oleh berbagai rangsangan yang terkumpul (konvergen) di neuron eferen. [1]

2.2  Macam-macam Gerak Refleks
Gerak refleks terdiri dari 2 macam, yaitu refleks fisiologis dan refleks patologis.
2.2.1     Refleks Fisiologis
a.      Refleks Somatik.
Berdasarkan jumlah neuron yang terlibat dibagi menjadi:
1.      Refleks Monosinaptik (refleks renggang)
Lengkung reflex yang paling sederhana, mempunyai sinaps tunggal diantara neuron aferen dan eferen. Hanya ada satu sinaps yang terjadi antaraneuron sensorik dan neuron motorik.
Bila otot rangka dengan persyarafan yang utuh direnggangkan, otot ini akan berkontraksi. Respons seperti ini disebut refleks renggang.   Rangsangan yang menimbulkan efek regang adalah regangan pada otot, dan responnya adalah kontraksi otot yang diregangkan tersebut. Alat indranya adalah kumparan otot. Impuls yang tercetus di kumparan otot dihantarkan ke SSP (Sistem Saraf Pusat) melalui serabut saraf sensorik penghantar cepat. Impuls kemudian secara langsung akan diteruskan ke neuron motorik yang mempersarafi otot yang teregang. Neurotransmitter di sinaps adalah glutamate. Reflex regang merupakan reflex monosinaptik di dalam tubuh yang paling banyak diketahui dan dipelajari. Contoh klinis:
                                    Refleks Patella (knee jerk)
Ketukan pada tendon patella akan membangkitkan reflex patella, karena ketukan pada tendon akan meregangkan otot kuadriceps femoris.
Ketika patella diberi ketukan secara refleks kaki akan bergerak ke depan seakan menendang. Perubahan postur/gerak pada kaki tersebut karena adanya mekanisme pengatur postur atau gerak pada kaki tersebut.
Perubahan postur atau gerak pada kaki tersebut karena adanya mekanisme pengatur postur yang terdiri dari rangkaian nukleus dan berbagai struktur seperti medulla spinalis, batang otak dan korteks serebrum. Sistem ini tidak saja berperan dalam postur statik tetapi juga bersama sistem kortikospinalis dan kortikobulbaris, berperan dalam pencetusan dan pengendalian gerakan. Penyesuaian postur dan gerakan volunter tidak mungkin di pisahkan secara tegas, tetapi dapat di ketahui serangkaian refleks postur yang tidak saja mempertahankan posisi tubuh tetapi tegak dan seimbang tapi juga penyesuaian untuk mempertahankan latar belakang postur yang stabil untuk aktivitas volunter. Penyesuaian ini mencakup 2 refleks yaitu :
1.      Refleks tatik : mencakup konstraksi menetap otot
2.      Refleks fasik : melibatkan gerakan – gerakan sesaat
Keduanya terintegrasi di dalam sistem saraf pusat, dari medulla spinalis sampai korteks serebrum.
Faktor utama dalam kontrol postur adalah adanya variasi ambang refleks regang spinal, yang di sebabkan oleh perubahan tingkat keterangsangan neuron motorik dan secara tidak langsung merubah kecepatan lepas muatan oleh neuron eferen -É£ ke kumparan otot. Sehingga makin keras ketukan yang di berikan maka refleks regang yang terjadi semakin kuat dan terjadi gerak sesaat yang lebih tegas (pada refleks patella kaki akan bergerak menendang lebih keras atau sesuai dengan besar rangsang yang di berikan). [1]
                                                Mekanismenya adalah:
Tendon patella diketuk > serabut tendon tertarik > otot dan serabut kumparan teregang > mengaktifkan refleks regangan.

 
Gb. 2 Refleks Patella (knee jerk)

2.      Refleks Polisinaptik (Refleks Menarik Diri)
Lengkung refleks yang mempunyai lebih dari satu interneuron diantara neuron aferen dan eferen dan jumlah sarafnya beragam antara dua sampai beberapa ratus.
Refleks menarik diri merupakan jawaban terhadap rangsangan noxius dan biasanya rangsangan nyeri di kulit atau jaringan subkutan serta otot. Respon yang timbul adalah kontraksi otot flexor dan penghambatan otot ekstensor sehingga bagian yang terangsang mengalami fleksi dan menarik diri dari rangsangan tersebut. Bila diberikan rangsangan yang kuat pada ekstremitas, respon yang timbul bukan hanya berupa fleksi dan menarik diri pada ekstremitas tersebut, melainkan juga ekstensi pada ekstremitas kontralateral. Respon ekstensor silang ini merupakan refleks menarik diri. Pada dasarnya adalah refleks potensi untuk menjauhi rangsangan yang membahayakan artinya refleks untuk menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan atau membahayakan.
 
Gb. 3 Diagram hubungan polisinaps antara neuron aferen dan eferen di medulla spinalis
Gb. 4 Refleks Menarik Diri
 Contoh klinis:
Sensasi panas atau tajam mengenai tungkai kiri
            Mekanismenya adalah: stimuli merangsang serabut nyeri > kolateral ikut terangsang > interneuron teraktivasi > eksitasi neuron motorik > otot fleksor tungkai kiri kontraksi.
            Sedangkan otot fleksor tungkai kanan mengalami hambatan penghambatan (crosswed extensor reflex). Dalam kejadian nyata kita melihat tungkai kiri diangkat, tungkai kanan tegak kuat berpijak agar tubuh tidak jatuh.
b.      Refleks Otonomik
Contoh Klinis
1.      Refleks batuk
Refleks batuk penting sekali bagi kehidupan, karena batuk merupakan cara dengan mana saluran udara paru-paru dipertahankan bebas dari benda asing.
            Bronkus dan trakea sedemikian peka sehingga benda asing apapun atau sebab iritasi lain menimbulkan refleks batuk. Larink dan karina sangat peka, dan bronkiolus terminalis serta alveolus terutama peka terhadap rangsnag kimia korosif seperti gas sulfur dioksida dan klor. Impuls aferen dari saluran pernapasan terutama berjalan melalui nervus vagus ke medulla oblongata. Di sana, suatu rangkaian peristiwa otomatis digerakkan oleh sirkuit neuron medulla oblongata, sehingga menyebabkan efek-efek sebagai berikut: pertama, kira-kira 2,5 L udara dihirup. Kedua, epiglottis menutup, dan pita suara menutup erat untuk menjerat udara di dalam paru-paru. Ketiga, otot peut berkontraksi dengan kuat. Sebagai akibatnya tekanan di dalam paru-paru meningkat menjadi 100 mmHg atau lebih. Keempat, pita suara dan epiglottis tiba-tiba terbuka lebar sehingga udara bertekanan tinggi di dalam paru-paru meletus keluar. [3]
2.      Refleks bersin
Rangsang yang memulai refleks bersin adalah iritasi pada saluran hidung, impuls aferennya berjalan di dalam saraf kelima ke medulla oblongata dimana refleks ini digerakkan. Terjadi serangkaian reaksi yang mirip dengan yang terjadi pada refleks batuk, tetapi uvula tertekan sehingga sejumlah besar udara mengalir dengan cepat melalui hidung, dan juga melalui mulut sehingga membantu membersihkan saluran hidung dari benda asing. [3]
2.2.2     Refleks Patologis
Refleks patologis adalah refleks – refleks yang tidak dapat di bangkitkan pada orang sehat, kecuali pada bayi dan anak kecil. Refleks – refleks patologis sebagian besar bersifat refleks dalam dan sebagian lainnya bersifat refleks superfisial. Reaksi yang di perlihatkan oleh refleks patologis sebagian besar adalah sama tetapi mempunyai nama bermacam – macam karena di bangkitkan dengan cara yang berbeda – beda. Contoh klinis:
Refleks Babinski
Lakukan goresan di ujung palu refleks pada telapak kaki pasien. Goresan di mulai pada tumit menuju ke atas dengan menyusuri bagian lateral telapak kaki, setelah sampai pada pangkal kelingking, goresan di belokan ke medial sampai akhir pada pangkal jempol kaki. Refleks babinski positif jika ada respon dorsofleksi ibu jari yang di sertai pemekaran jari – jari yang lain.
                                  
                                 Gb. 5 Cara Pemeriksaan Babinski
Kerusakan traktus kortikospinalis lateral pada manusia menimbulkan tanda babinski; fleksi dorsal jempol kaki dan mekarnya jari-jari kaki lainnya sewaktu bagian lateral telapak kaki digores. Kecuali pada bayi, respon normal terhadap rangsangan ini adalak fleksor plantar semua jari kaki. Tanda babinski dianggap merupakan refleks menarik  pada fleksor yang secara normal ditahan oleh sistem kortikospinalis lateral. Tanda ini berguna dalam mencari tempat proses penyakit, tetapi makna fisiologisnya tidak diketahui. [1]

                                       Gb. 6 Jaras Kortikospinalis pada kasus babinski









Pemeriksaan Radiologi Penyakit Stroke
Diagnosis stroke
            Dilakukan anamnesis, pemeriksaan keadaan umum dan pemeriksaan neurologis secepat mungkin, untuk segera mendapatkan diagnosis pasti stroke.
            Untuk menegakkan diagnosis stroke perlu dilakukan anamnesis (untuk mendapatkan gejala-gejala klinis akibat stroke), dan pemeriksaan neurologis (untuk mendapatkan kelainan neurologis akibat stroke).
            Gejala-gejala klinis stroke yang sering terjadi, yang perlu ditanyakan, adalah (salah satu atau bersama-sama); (1) tiba-tiba perot, kelumpuhan satu sisi anggota gerak, (2) tiba-tiba semutan, gringgingan di muka, satu sisi anggota gerak, (3) tiba-tiba bingung, sulit bicara atau bicaranya sulit dimengerti, (4) tiba-tiba terjadi gangguan penglihatan satu atau ke dua mata, (5) tiba-tiba sulit untuk berjalan, sempoyongan, kehilangan keseimbangan atau koodinasi, (6) tiba-tiba nyeri ke pala yang sangat, tanpa diketahui sebab, dan (7) tiba-tiba terjadi penurunan kesadaran atau tidak sadar (koma).
            Gejala-gejala klinis tersebut sangat tergantung dari jenis patologis stroke, sisi otak dan bagian otak yang terganggu, dan bagaimana severitas dari gangguan otak tersebut.
Pola gangguan neurlogis pada penderita stroke akut, sesuai dengan letak lesinya, adalah sebagai berikut;
  1. Lesi di hemisfer kiri (dominan), dengan gejala-gejala; afasi, hemiparesis kanan, hemiastesia kanan, hemianopsia homonymous kanan,dan gangguan gerakan bola mata kanan
  2. Lesi di hemisfer kanan (nondominan), dengan gejala-gejala; hemiparesis kiri, hemiastesia kiri, hemianopsia homonymous kiri, dan gangguan gerakan bola mata kiri
  3. Lesi di subkortikal atau batang otak, dengan gejala-gejala; hemiplegia berat dan hemiastesis berat, disartria, termasuk dysarhtria-clumsy hand, hemiparesis-ataksia, dan tidak ada gangguan kognisi, bahasa dan penglihatan
  4. Lesi di batang otak, dengan gejala-gejala; tetrapelgia dan tetraastesia total, crossed signs (signs on same side of face and other side of body), dysconjugate gaze, nygstagmus, ataxia, disartria, dan disphagia
  5. Lesi di serebelum, dengan gejala-gejala ataksia tungkai ipsilateral dan ataksia gait.
Pemeriksaan Radiologi yang Digunakan
1. CT Scan
Untuk membedakan jenis patologis stroke (perdarahan atau iskemik atau infark), dapat dilakukan segera mungkin pemeriksaan CT-Scan kepala (sebagai pemeriksaan baku emas). Apabila pemeriksaan CT-Scan tidak memungkin dengan berbagai alasan, dapat dipakai Algoritma Stroke Gadjah Mada (ASGM) yang telah diuji reliabilitas dan validitasnya (grade I).[5]  ASGM terdiri dari 3 variabel, yaitu, nyeri kepala pada waktu saat serangan, penurunan kesadaran pada waktu saat serangan dan refelks Babinski. Apabila ada tiga atau dua variable tersebut, maka jenis patologis stroke adalah stroke perdarahan. Apabila ada ada nyeri kepala atau penurunan kesadaran pada saat serangan, maka jenis patologis stroke adalah stroke perdarahan. Stroke iskemik atau infark, apabila tidak ada ketiga variable tersebut pada saat serangan.  
Gb. 7 CT Scan Kepala Indikasi Intracerebral Hemorrhage
2. MRI (Magnetic Resonance Imajing)
Pemeriksaan CT-Scan adalah mutlak dilakukan apabila akan dilakukan pengobatan dengan pengobata  trombolitik (rtPA intravenus).[4] Kalau keadaan memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan MRI. Dengan pemeriksaan MRI dapat dilihat lesi kecil (yang tidak terlihat dengan pemeriksaan CT-Scan) di kortikal, subkortikal, batang otak dan serebelum. Juga dapat terlihat lesi teritori vaskuler dan iskemik akut lebih awal.

BAB III
PENUTUP

Refleks adalah respon motorik sederhana, involunter, stereotipik, terpogram, terhadap stimuli sensorik spesifik. Refleks dioperasikan melalui arkus (lengkung) refleks. Sebuah lengkung refleks terdiri atas (1) reseptor sensori yang menterjemahkan stimuli, (2) serabut sensori aferen, yang masuk medulla spinalis melalui akar dorsal, membawa sinya ke SSP, (3) pusat integrasi (sinap dan interneuron), yang menganalisis masukan sensori, membawa sinyal ke neuron motorik. Serabut neuron motorik terdiri atas jaras eferen dari lengkung tersebut mmedula spinalis melalui (akar ventral), menginervasi otot skelet (5) (efektor).
Gerak refleks dibedakan menjadi dua, yaitu refleks fisiologi dan refleks patologis. Refleks fisiologis dibagi menjadi refleks somatis dan otonom. Berdasarkan jumlah neuronnya refleks somatis dibedakan menjadi refleks monosinaptik dan polisinaptik.


















DAFTAR PUSTAKA

1.      Ganong, F. William. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:Penerit Buku Kedokteran EGC
2.      Sloane, Ethel. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta:Penerit Buku Kedokteran EGC
3.      Guyton, C. Arthur. 1990. Buku Teks Fisiologi Kedokteran. Jakarta:Penerit Buku Kedokteran EGC
  1. Fife TD, Tusa RJ, Furman JM, et al. Assessment, vestibular testing techniques in adults and children: report of the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the Ameircan Academic of Neurology. Neurology 2000;55:1431-1441
  2. Lamsudin R. Praktek evidence-based medicine (EBM) dalam manajemen stroke akut. BKM, 1998:3;129-135.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar